
Perselisihan sering muncul di negeri-negeri dengan penduduk mayoritas Muslim akibat perbedaan pandangan dalam aliran Islam. Misalnya saja di Pakistan, konflik hebat baru-baru ini semakin memburuk antara faksi-faksi Sunni dan Syiah. Akan tetapi, ada satu kampung di bagian utaranya dimana kedua golongan itu malah tinggal bersama-sama tanpa permusuhan.
Desa tersebut disebut Pira. Letaknya ada di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa.
Jika kesempatannya bertamu ke tempat tersebut, salah satu hal pertama yang akan kita lihat adalah sebuah mesjid dengan menara terbuat dari besi serta sistem Pengeras Suara yang kuat dipasangi di atapnya.
Bukan hanya memiliki nilai sejarah, masjid ini pun menjadi simbol persatuan, karena digunakan secara bersama-sama oleh warga desa baik yang berhaluan Sunni maupun Syiah.
Saat adzan bergema, salah satu kelompok dari aliran tertentu segera menuju masjid. Sekitar 15 menit kemudian, setelah mengucapkan doa dan sholat, mereka meninggalkannya lagi. Kemudian gilirankelompok aliran lain untuk melakukan ibadah di tempat tersebut.
Tentu saja, umat Sunni dan Syiah melaksanakan ibadah salat menurut praktik masing-masing. Bunyi azannya juga bervariasi, bergantung pada kelompok mana yang menyuarakannya.
Terdapat suatu kesepakatan tersirat yang menetapkan bahwa azan pagi, siang, dan petang disuarakan oleh masyarakat Syiah, sementara itu azan petang dan malam disebarluaskan oleh kelompok Sunni.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadi orang pertama yang mengakses berita, investigasi, serta laporan mendalam dari BBC News Indonesia dengan menerima kiriman langsung melalui WhatsApp.

Meskipun demikian, saat bulan Ramadhan, umat Sunni biasanya membuka puasa sedikit lebih cepat dibandingkan dengan umat Syiah. Oleh karena itu, mereka menyuarakan adzan magrib secara terpisah sepanjang bulan yang suci tersebut.
Pada saat shalat apapun, jika ada anggota dari grup pertama yang tiba terlambat di mesjid, mereka akan menyatu dengan grup kedua dan kemudian melaksanakan ibadahnya secara mandiri bersama individu-individu dengan pandangan agama yang beragam.
Tentu saja, masih ada beberapa masjid lain di Pira, namun masjid yang dipakai secara bersama oleh komunitas Sunni dan Syiah ini merupakan yang paling besar.

Harmoni diantara kedua kelompok tersebut sudah berlangsung cukup lama.
Awalnya, kira-kira 100 tahun yang lampau, mayoritas warga di Pira merupakan pengikut Sunni Sufi. Mereka diyakini sebagai cikal bakal para pendiri desa itu di masa abad ke-17.
Menurut Sibtain Bukhari, seorang sejarawan setempat, beberapa warga perlahan-lahan mulai mengadopsi paham Syiah, sedangkan sebagian lagi memilih untuk tetap setia pada keyakinan Sunni.
Walau memiliki pandangan berbeda, keduanya tetap menggunakannya bersama-sama untuk keperluan mesjid yang tersedia.
Di penghujung tahun 1980-an, seorang tokoh masyarakat Syiah lokal menyuarakan ide untuk membangun kembali masjid itu.
Molvi Gulab Shah, seorang ulama Sunni, kemudian memberikan izinnya dengan syarat bahwa tempat beribadah tersebut dapat terus digunakan secara bersama-sama oleh kedua pihak.
Pemuka-pemuka Syiah kemudian menanggung biaya untuk membangun kembali, oleh karena itu secara resmi masjid tersebut sekarang merupakan kepunyaan mereka.
Akan tetapi, dalam kenyataannya, hal itu tidak terlalu memengaruhi situasi. Syed Mazhar Ali Abbas, seorang khutbah Syiah dari masjid tersebut, menyampaikan bahwa umat Sunni juga memiliki hak yang sama untuk menggunakan fasilitas tersebut.

Masjid itu dapat dianggap sebagai pusat jantung bagi komunitas terpadu Desa Pira.
Populasi di Pira sekarang mencapai sekitar 5.000 orang, dengan jumlah yang hampir sama antara pendukung Sunni dan Shi'a. Kedua grup tersebut juga memberikan kontribusi untuk pembayaran listrik serta beban operasional masjid-masjid lainnya secara merata.
Mereka tinggal bersebelahan dalam kedamaian dan kegembiraan.
Bukan cuma masjid, kedua kelompok tersebut pun bergantian dalam pengelolaan area pemakaman.
Sering kali, anggota dari sebuah aliran menikah dengan anggota dari aliran lainnya.
Misalnya, Muhammad Siddiq merupakan seorang Sunni yang telah menikah dengan seorang wanita Syiah. Dia menyatakan bahwa dibutuhkannya waktu cukup lama agar orangtuanya di pihak istri memberikan restunya.
Tetapi, alasan tersebut bukanlah karena dia seorang Sunni. Dia menjelaskan bahwa masalah utamanya adalah pernikahannya berdasarkan cinta, tidak melalui sistem pertunangan seperti kebanyakan terjadi di Pakistan.
Saat ini dia sudah menikah selama sekitar 18 tahun dan, menurut dirinya sendiri, baik dia maupun istrinya tetap memegang teguh kepercayaan mereka dengan pendekatan masing-masing.
Seorang warga setempat bernama Amjad Hussain Shah menyebutkan bahwa ada keluarga di mana orang tua beragama Syiah namun anak-anak mereka menjadi pengikut Sunni, dan bisa jadi situasinya malah kebalikannya.
"Di sini orang-orang menyadari bahwa kepercayaan beragama merupakan hal yang personal," ujarnya.

Contoh bentuk integrasi lain dapat diamati pada berbagai peringatan agama.
Pada hari raya Idul Adha, pemeluk Syiah dan Sunni kadang-kadang menyembelih seekor hewan qurban bersama-sama sebagai bentuk penghormatan atas kesediaan Nabi Ibrahim untuk mengurbankan anaknya Ismail.
Saat kelompok Sunni memperingati Maulid Nabi Muhammad, sering kali para pendukung Syiah juga turut ambil bagian, menurut Syed Sajjad Hussain Kazmi, seorang pengkhotbah dari paham Sunni.
Sebaliknya, umat Sunni turut serta dalam perayaan kelompok Syiah pada bulan Muharram guna mengenang pengorbanan Imam Husain, cucu Rasulullah.
Melalui metode ini, warga di kampung bisa sama-sama menikmati kegembiraan dan menghadapi kesulitan bersama.
Pada hari BBC Ketika berkunjung ke Pira, para pemuka desa sedang mencoblos calon ketua dewan zakat setempat, orang yang akan bertanggung jawab atas penghimpunan serta penyaluran bantuan dermawan.
Dalam beberapa tahun belakangan, jabatan itu dikuasai oleh seorang Sunni, namun pada kesempatan kali ini, seorang calon Syiah berhasil menjadi pemenangnya.
Mazhar Ali, seorang pembicara Syiah, menyebutkan bahwa keluarganya memberikan dukungan kepada calon Sunni yang pada akhirnya gagal dalam pemilu tersebut.
"Kami tak pernah memberikan dukungan ataupun penolakan terhadap calon-calon presiden karena keyakinan agamanya. Yang menjadi pertimbangan kami adalah memilih individu yang diyakini memiliki kapabilitas untuk mengabdi kepada rakyat," ungkapnya.

Pada suatu hari sekitar dua dekade silam, pernah ada usaha untuk memecah belah masyarakat. Hal ini bukan hanya terjadi di Desa Pira saja, tetapi juga meluas ke 11 desa lainnya dalam wilayah tersebut.
Di Pira, penduduk setempat sebenarnya terpecah secara merata antara penganut Syiah dan Sunni. Akan tetapi, kelompok Sunni menjadi mayoritas di desa-desas lain yang berada dalam wilayah tersebut.
Pada waktu itu, Syed Munir Hussain Shah yang beragama Syiah mengusulkan namanya sebagai wakil bagi semua penduduk desa tersebut dalam dewan lokal.
Seorang pesaing mencoba menghancurkannya dengan mempromosikan rasa benci terhadap kelompok Syiah.
"Mereka mengundang seorang individu dari Karachi yang terkenal di seluruh negara berkat retorika anti-Syiahnya. Orang tersebut memberikan pidato kepada kerumunan dan mendorong para hadirin agar tidak memilih calon-calon Syiah," jelas Munir Shah.
Rencana tersebut gagal. Masyarakat tetap memilih untuk mendukung Munir Shah.
"Banyak orang menyampaikan bahwa mereka bukan mencari imam masjid, melainkan perwakilan yang mampu membela kepentingan mereka tanpa memandang sekte, " ujarnya.
Dia yakin bahwa kekuatan keserikotaan terbentuk dari masjid bermenara besi dan sistem Pengeras Suara keras tersebut, yang sudah digunakan dan dipelihara bersama oleh komunitas Sunni dan Syiah hampir satu abad ini.
- Ritual Asyura milik komunitas Syiah di Bandung pernah disebut sebagai 'keliru'. Bagaimana cerita selengkapnya?
- 'Serangan datang dari segala arah' - Kekhawatiran pelajar etnis Hazara di Afghanistan terhadap keberlangsungan pendidikan mereka kembali
- Pengungsi Syiah dari Sampang mencari jalannya untuk pulang: Selama bertahun-tahun mereka merasa seperti dipenjara dan sekarang bersiap untuk dibaiat menjadi bagian dari kelompok Sunni
- Perjanjian antara pengungsi Syiah yang kini menjadi Sunni: Mencari jalannya pulang, tetapi luka psikologis masyarakat tidak akan sembuh seumur hidup mereka.
- Apakah yang dimaksud dengan kelompok Alawi, yaitu agama dari mantan Presiden Suriah Bashar al-Assad?
- Kenapa perdana menteri Albania mendukung pembentukan 'negara Islam mini' seperti Vatikan di ibu kotanya?
- Pembatasan pada Penggambaran Nabi Muhammad: Alasan Mengapa dan Apakah Aturan Ini Berlaku Seragam Di Seluruh Komunitas Muslim
- 'Serangan datang dari segala arah' - Kekhawatiran pelajar etnis Hazara di Afghanistan terhadap keberanian mereka dalam kembali ke sekolah
- Tuduhan 'menyisihkan kelompok minoritas untuk memenuhi kehendak mayoritas' ada di belakang pemulangan para pengungsi Syiah dari Sampang yang ingin kembali ke rumah mereka.
- Apakah yang dimaksud dengan kelompok keagamaan Alawi, yaitu agama dari presiden tersingkir Suriah Bashar al-Assad?
- ritual Asyura oleh masyarakat Syiah di Bandung pernah dituding sebagai sesat - Bagaimana hal ini berlangsung?
- Pembatasan pada Penggambaran Nabi Muhammad: Alasan Dan Apakah Ini Berlaku Seragam Di Setiap Komunitas Islam?
0 Komentar