Dampak Tarif Impor 32% AS Terhadap Indonesia: Ahli Ekonomi Sampaikan Solusi Kritis Untuk Pemerintah

PIKIRAN RAKYAT - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengimplementasikan kebijakan tariff balasan kepada sejumlah negera-negara trading partner yang dinilai telah menetapkan bea masuk tinggi bagi produk-produk dari AS.

Tindakan proteksionis ini dimaksudkan untuk memperkuat produksi lokal, menghasilkan lebih banyak pekerjaan, serta mengerakkan perkembangan ekonomi di Amerika Serikat.

Pada aturan tersebut, Amerika Serikat mengenakan bea masuk tambahan yang beragam mulai dari 10% sampai dengan 39%. Diantara beberapa negara, Indonesia menjadi salah satunya yang mendapat bea cukai lebih sekitar 32%. Untuk membandingkannya, China terkena bea sebesar 34%, Uni Eropa pada angka 20%, Vietnam mencapai 46%, India dipungut bea senilai 26%, Jepang dibebani biaya 24%, Thailand dihadirkan dengan jumlah 36%, Malaysia juga membayar sama seperti Jepang yakni 24%, sementara itu untuk Filipina hanya kena pajak 17% dan Singapura paling rendah dengan tarif 10%.

Pengaruh Bea Masuk pada Ekonomi Dunia

Menurut Direktor Program INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini, implementasi tariff reciprocals oleh Amerika Serikat memiliki pengaruh yang signifikan pada berbagai aspek, termasuk ekonomi global dan dalam negeri, seperti halnya:

  1. Harga saham di Amerika Serikat jatuh sekurang-kurangnya 3%, sementara itu juga mengalami penurunan di Jepang dan Korea Selatan, khususnya pada industri otomotif.
  2. Harga emas naik mencapai puncak baru dengan berada di atas $3160 per ons, sedangkan nilai minyak global jatuh sekitar 3% lebih rendah.
  3. Kemunculan fluktuasi dalam pertukaran mata uang dunia bertambah, dimana Yen dari Jepang menjadi lebih kuat dibandingkan Dolar Amerika Serikat seiring permintaan aset yang aman pada saat ada keraguan tentang kondisi perekonomian global.

Walaupun dimaksudkan untuk melindungi sektor lokal, aturan tariff ini bisa jadi berbalik arah terhadap Amerika Serikat sendiri dengan menimbulkan peningkatan inflasi, kenaikan biaya produk, serta efek merugikan di lapangan pekerjaan mereka.

Dampak Terhadap Indonesia

Indonesia termasuk dalam sejumlah negara yang paling merasakan dampak dari kebijakan tersebut. Ada beberapa aspek penting yang patut untuk diperhatikan:

  • Ekspor Indonesia ke AS:
  1. Setiap tahunnya, penjualan luar negeri Indonesia ke Amerika Serikat menyumbangkan sekitar 10,3% dari semua penjualannya di luar negeri, sehingga negara itu menjadi partner perdagangan utama kedua sesudah Tiongkok.
  2. Peningkatan harga ini akan mengurangi kompetitivitas barang Indonesia di pasaran AS.
  • Industri yang Terkena Dampak:
  1. Barang-barang terpilih seperti pakaian, sepatu, produk elektronik, mebel, kelapa sawit, lateks, serta hasil ikan akan menghadapi rintangan dalam perdagangan.
  2. Biaya pembuatan naik akibat biaya ekstra, hal ini mungkin menghambat perkembangan sektor tersebut dan bisa menimbulkan pemutusan hubungan kerja.
  • Potensi Badai PHK:
  1. Kepala Divisi Industri, Perdagangan, dan Investasi di Indef, Andry Satrio Nugroho, menggarisbawahi bahwa sektor manufaktur berintensitas tenaga kerja seperti tekstil dan alas kaki memberikan kontribusi sebesar 27,5% pada total ekspor Indonesia menuju Amerika Serikat. Tanpa adanya langkah nyata, risiko pemutusan hubungan kerja masal menjadi tak dapat dicegah.
  • Trade Diversion:
  1. Dengan adanya kenaikan harga ini, transaksi perdagangan akan beralih dari pasar dengan biaya operasional rendah menuju pasar dengan biaya operasional mahal, sehingga dapat membatasi kemampuan produk Indonesia bersaing di kancah internasional.

Tindakan yang Perlu Diambil oleh Pemerintah

Agar bisa menangani efek merugikan dari tarif tersebut, pihak berwenang di Indonesia harus menerapkan sejumlah tindakan terencana seperti yang disebutkan di bawah ini:

1. Percepatan Negosiasi Perdagangan

Perundingan perdagangan yang lebih mendalam dengan Amerika Serikat merupakan kunci utamanya.

"Keberanian diplomasi negosiasi amat penting untuk mengurangi pengaruh perang perdagangan dengan Amerika Serikat," ujar Eisha Maghfiruha Rachbini.

Pihak berwenang harus mengonfirmasi bahwa komoditas ekspor utama dari Indonesia menerima pengurangan bea masuk atau pengecualian di dalam perjanjian dagang antar negara.

2. Cepat Mengangkat Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat

Pada saat ini, jabatan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat sudah kosong selama kurang lebih dua tahun, sejak Rosan Roeslani dipilih menjadi Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara di bulan Juli 2023.

"Kami membutuhkan seseorang yang mengerti tentang diplomatik ekonomi serta memiliki pengalaman di bidang negosiasi perdagangan. Posisi ini tidak hanya simbolik; itu adalah barisan terdepan dari pertahanan perdagangan Indonesia," jelas Andry Satrio Nugroho.

Tanpa wakil yang efektif di Washington, kedudukan negosiasi Indonesia terkait keputusan perdagangan Amerika Serikat akan menjadi lebih rentan.

3. Diversifikasi Pasar Ekspor

Agar bisa mengurangi ketergantungan terhadap pasaran Amerika Serikat, pihak berwenang harus meningkatkan penetrasi pasar diekspor ke negeri-negera yang tidak biasanya dijadikan tujuan, contohnya adalah wilayah Timur Tengah serta Benua Afrika.

"Pemerintah harus memulai kesepakatan kolaborasi dengan negara-negara bukan tradisional guna mendukung peningkatan ekspor barang-barang yang terpengaruh," jelas Eisha.

Di samping itu, Indonesia harus memaksimalkan penggunaan perjanjian perdagangan bilateral dan multilateral seperti CEPA (Perjanjian Kerjasama Ekonomi Partner Komprehensif) agar dapat menjamin akses yang lebih besar ke pangsa pasar internasional.

4. Stimulan untuk Industri Dalam Negeri

Pemerintah perlu menghadirkan sejumlah dukungan finansial bagi para pemain di sektor industri yang tertekan, meliputi:

  • Subsidi untuk meringankan bebannya biaya produksi.
  • Insentif perpajakan untuk sektor berbasis tenaga kerja intensif.
  • Dukungan dana guna memperkuat kompetitivitas barang yang diekspor.

5. Memperkuat Kesiapan Persaingan Barang dalam Negeri

Secara jangka panjang, berinvestasi pada teknologi, menciptakan inovasi baru, serta memperbaiki kompetensi sumber daya manusia mutlak dibutuhkan agar produksi Indonesia dapat bersaing di pangsa pasaran internasional.

"Setiap harinya tidak adanya wakil di AS berarti kita kehilangan daya tawar. Kami akan kehilangan kesempatan, momentum, serta kontrol," ungkap Andry Satrio Nugroho.

Posting Komentar

0 Komentar