
.CO.ID, JERUZALEM -- Israel secara berkelanjutan menerapkan kebijakan demi mengubah wujud demografi dan geopolitik Jerusalem yang diduduki. Dengan cara penaklukan Palestina yang kasar, Israel melaksanakan tindakan-tindakan terstruktur untuk mem-Juda-kan Kota Suci ini serta meredupkan ciri-cirinya sebagai pusat Islam.
Usaha-usaha tersebut terus bertambah lewat program-program permukiman skala besar serta kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengembangkan pengendalian Israel di wilayah-wilayah dan perkotaan Palestina.
Diberitakan Days of Palestine , Kamis (3/4/2025), ada satu rencana besar yang bisa merubah wajah Yerusalem. Pihak berwenang Israel diperkirakan akan mendukung peraturan kontroversial ini dan dengan demikian secara formal memperluas pemukiman ke area-area di sekeliling Yerusalem, suatu situasi yang mereka panggil sebagai Greater Jerusalem atau Yerusalem Besar.
Tindakan ini akan mengintegrasikan sejumlah besar pemukiman yang dikembangkan dengan cara-cara tidak sah di wilayah Palestina ke dalam zonasi perkotaan, semakin mengeraskan pegangan Israel pada Jerusalem Timur yang diduduki oleh mereka.
Minggu lalu, Komite Menteri untuk Legislasi di Israel mendukung rancangan undang-undang berisiko tinggi yang bertujuan mengambil alih sejumlah pemukiman besar, seperti Ma'ale Adumim, Beitar Illit, Givat Ze'ev, Efrat, serta Ma'ale Michmash.
Pemukiman-pemukiman ini yang berlokasi secara taktis di bagian utara, timur, dan selatan Yerusalem, terletak jauh ke dalam area penempaan Tepi Barat. Rancangan undang-undang tersebut bukan saja bakal menguatkan dominansi Israel pada kawasan-kawasan itu namun juga dapat mendorong pembentukan proyek-proyek perluasannya di Tepi Barat.
Di waktu yang sama, otoritas Israel sudah menerbitkan instruksi penghapusan untuk 45 bangunan penduduk di kampung Palestina Al-Nu'man, letaknya di bagian timur laut Yerusalem, termasuk juga mesjid setempat, dengan alasan konstruksinya tanpa izin resmi.
Ketua Komite Anti-Semitisme di Jerusalem, Nasser Al-Hadmi, menyampaikan peringatan tentang peningkatan usaha Israel untuk merombak komposisi etnis serta topografi dari kota itu.
Dalam wawancaranya dengan Al-Resalah, Al-Hadmi menyatakan bahwa pembangunan pemukiman Yahudi yang luas tersebut bertujuan untuk mengisolasi kemunculan orang Palestina di Yerusalem.
"Peraturan baru ini mencerminkan peningkatan signifikan dalam taktik Zionis Israel. Tujuannya adalah untuk mengimplementasikan kedaulatan mutlak Israel di Yerusalem sementara melanggar jelas peraturan dunia," ungkap Al-Hadmi.
Selanjutnya, Al-Hadmi menyebutkan bahwa tindakan itu bertujuan untuk menjauhkan Yerusalem dari daerah Palestina, serta meniadakan hak-hak politik dan demografi penduduk Palestina di kota tersebut.
"Untuk menentang rencana itu, diperlukan respons yang lebih besar baik dari pihak Palestina maupun internasional karena ancamannya terhadap masa depan dan identitas sejarah kota," ungkap Al-Hadmi.
Pada saat bersamaan, rancangan undang-undang tersebut memuat ketentuan yang cukup menimbulkan kekhawatiran: pengecualian wilayah-wilayah dengan populasi Palestina seperti kamp-kamp pengungsi Shuafat, Anata, serta Kafr Aqab, tempat tinggal sekitar 100.000 penduduk Palestina, dari otoritas Kotamadya Yerusalem.
Tindakan ini bakal makin memisahkan penduduk Palestina serta mengecilkan peran mereka dalam penentuan nasib kota itu di kemudian hari.
Redwan Amr, seorang peneliti dari Jerusalem, menyatakan bahwa aturan baru ini adalah komponen utama dalam strategi jangka panjang Israel untuk mewujudkan Yahuditasi atas kota suci itu.
Amr menyebutkan bahwa tujuan dari rencana tersebut adalah untuk meningkatkan pengaruh Israel dengan menyerobot area-area permukiman besar di sekitaran Yerusalem, sementara itu juga meredam eksistensi Palestina.
"Ini merupakan komponen dalam skema besar untuk melepaskan Yerusalem dari wilayah Tepi Barat milik Palestina serta secara berangsur-angan menyingkirkan warga Palestina dengan cara pemindahan paksa, pembongkaran hunian, dan mencabut status kependudukan," katanya.
Israel sudah sejak dulu mengerjakan strategi guna meningkatkan dominasinya di Yerusalem. Tahun 1980, parlemen Israel atau Knesset menyetujui Undang-Undang Dasar: Yerusalem, Ibu Kota Israel, undang tersebut menjelaskan bahwa semua wilayah kota, termasuk bagian timur dan barat, merupakan pusat pemerintahan negara mereka.
Selanjutnya, di tahun 1993, pihak berwenang Israel merancangkan konsep "Yerusalem Besar" yang bertujuan mengeraskan wilayah kotanya menjadi sekitar 600 kilometer persegi, mendekati sepuluh persen dari total area Tepi Barat.
Sejak saat itu, Israel terus mendirikan permukiman serta fasilitas guna merealisasikan visi tersebut, yang pada gilirannya telah mencegah potensi pembentukan negara Palestina bebas dengan Yerusalem Timur sebagai pusat pemerintahan-nya.
Saat Israel mendekati implementasi peraturan hukum terbaru ini, masyarakat Palestina cemas bahwa aturan tersebut dapat memperkuat strategi penjajahan, menambah ketidakadilan mereka, serta membawa dampak signifikan pada cita-cita mereka untuk meraih kemerdekaan di wilayah asli mereka yang bersejarah.
0 Komentar