
Sebagian orang mungkin menemui hal ini: mendapatkan pujian namun diiringi oleh rasa tidak enak hati. Kebanyakan waktu, ketidakmampuan untuk merespon pujian tersebut biasanya bermula dari pengalaman pada masa kanak-kanak mereka.
Mungkin pengalaman dan interaksi di masa lalu sudah menciptakan reaksi tertentu terhadap penerimaan affirmasi positif pada saat dewasa.
Menurut Blog Herald, berikut adalah tujuh momen di masa kecilmu yang bisa jadi alasan kenapa kamu kesulitan menerima puji-pujaan.
Mengenali emosi ini bertujuan agar Anda dapat menghadapi masa depan dengan cinta dan penerimaan diri yang lebih besar.
1. Pujian bersyarat
Pada masa kecil, sebagian besar orang tampaknya kerap kali memperoleh pujian ketika mereka melaksanakan suatu tugas. Mereka bisa jadi akan mendapatkan ucapan, “Luar biasa, kau benar-benar anak cerdas!” usai berhasil melewati sebuah ujian, atau bahkan mungkin juga diberitahu, “Terima kasih banyak, kau sungguh bantuan yang berharga!” saat telah mengakhiri urusan rumah tangga.
Pujian semacam ini mungkin terlihat positif tetapi bersifat bersyarat. Mereka diberikan berdasarkan tindakan anak-anak, bukannya karena identitas mereka sendiri. Jika pujian selalu ditautkan dengan prestasi atau tingkah laku, maka anak-anak tersebut cenderung memahami pujian sebagai sesuatu yang memiliki aturan tertentu.
Ini membuat mereka mengalami kendala saat menerima puji-pujian di masa dewasa karena cenderung memperhatikan harapan hasil atau kondisi tertentu yang harus dipenuhi.
2. Penguatan negatif
Dewasa saat ini membesar dengan masa kecil ketika orang tua mereka berkata: "Kau mainnya bagus cuma gara-gara kakakmu bantuin," atau "Kau nggak bakal menang kalau tim lawan main lebih baik."
Komentar seperti itu walaupun tanpa niat untuk menyakitkan bisa tetap memberikan dampak jangka panjang, sampai mereka tumbuh menjadi dewasa. Umpan balik sejenis tersebut mungkin membuat mereka berpikir bahwa prestasi yang dicapai adalah karena keadaan tertentu atau peran pihak lain, bukannya hasil kerja keras diri sendiri.
Sebagai akibatnya, mereka mulai kehilangan keyakinan pada diri sendiri serta keterampilannya. Setiap pujian terasa tak layak atau bahkan bohong, karena sudah ada pemahaman yang melekat dalam benak kita bahwa kita bukan faktor utama dari pencapaian-pencapaian tersebut.
3. Kekurangan respon positif
Dalam banyak keluarga, penguatan positif sering kali kurang ditemukan. Puji-pujian tak lagi jadi bagian dalam rutinitas harian mereka. Sebuah studi mengindikasikan bahwa anak-anak yang minim mendapat ataupun tak pernah mendapatkan penghargaan positif cenderung berkembang menjadi individu dewasa yang kesulitan menemui rasa percaya dirinya.
Bertumbuh di lingkungan tersebut bisa menjadikan kita asing dengan pujian sehingga merasa tak nyaman ketika mendapatkannya. Bahkan, kita cenderung enggan untuk mempercayainya, menyebutnya sebagai hal yang kurang jujur atau berpola agar ada maksud tersembunyi dibaliknya.
4. Harapan yang tinggi
Sebagian dari kita dibesarkan dengan standar yang cukup tinggi. Kami diminta untuk mencapai kesempurnaan dalam setiap aspek aktivitas kami, dan prestasi yang belum memadai sering kali dipandang sebelah mata sebagai kekalahan.
Apabila Anda hidup dalam lingkungan keluarga yang menilai mendapatkan nilai "A" sebagai hal biasa dan rendahnya dari itu tak bisa ditolerir, mungkin akan terasa susah untuk mensyukuri apresiasi atas pencapaian sederhana. Bisa jadi Anda berpikir bahwa apa yang telah dilakukan belum luar biasa atau pantas dibuat hebohkan.
Model pengasuhan semacam itu bisa membuat kita mengabaikan pencapaian diri sendiri dan menolak pujian, sebab kita sudah ditempatkan dalam pola pikir yang memandang perlu terus berusaha lebih keras atau mencapai hal-hal yang lebih tinggi.
5. Takut sombong
Mereka kemungkinan besar adalah anak-anak yang selalu diingatkan dengan kalimat, "Jangan sombong," tiap kali mendapat pujian. Akibatnya, hal itu bisa membangkitkan rasa takut dalam dirinya bahwa jika mereka menerima pujian, orang lain akan menganggap mereka sombong atau angkuh.
Banyak dari kita yang telah menjalaninya, situasi di mana tata krama menjadi prioritas utama dan penghargaan kepada diri sendiri sering kali diremehkan. Kondisi tersebut bisa membuat orang tidak nyaman saat mendapat pujian karena khawatir tampak angkuh atau berlebihan.
6. Kekurangan perasaan kasih sayang terhadap diri sendiri
Pada saat menjadi orang dewasa, apabila rasa cinta dan pengakuan mayoritas berasal dari luar diri kita, kemungkinan besar akan ada kecenderungan untuk menyepelekan betapa pentingnya menyayangi diri sendiri serta memberikan penghargaan kepada diri sendiri.
Pada famili dimana anak-anak tak diberi dorongan untuk mencintai prestasi serta kemampuan pribadi mereka, hal ini dapat menimbulkan ketidakmampuan dalam belajar mencintai diri sendiri.
Sebagai individu yang sudah matang, situasi tersebut bisa diartikan sebagai rasa tidak nyaman saat mendapat pujian. Bisa jadi kita kesulitan untuk menerima penghargaan itu karena kurangnya pemahaman dalam membangun harga diri tanpa harus bergantung pada apresiasi dari luar.
7. Menurunkan harga diri
Pengalaman buruk mungkin berasal dari kritik atau ejekan berkelanjutan di masa kanak-kanak. Dengan paparan komentar negatif tanpa henti, hal ini bisa menghancurkan rasa percaya diri seorang anak dan menyebabkan keraguan tentang nilainya sebagai individu.
Dewasa ini, seseorang bisa kesulitan untuk menerima penghargaan dengan baik. Mereka mungkin merasa tak layak mendapatkannya atau justru beranggapan penyampainya cuma basa-basi saja atau sekadar menyenangkan hati.
0 Komentar