
Di Belakang Perjalanan Pulang Si Anak Bungsmulah, Terdapat Hati Yang Sedih Seperti Diiris Ribuan Pedang
Mudik tak semata-mata sebuah perjalanan; itu merupakan ritual tahunan yang tertanam di jiwa, menyatukan kenangan, keinginan bertemu, dan optimisme. Tiap tahunnya, saat bulan Ramadhan akan berakhir, ribuan individu bermigrasi dari perkotaan, melintasi ratusan kilometer jarak, cuma demi mencapai tempat lahir mereka sendiri lagi, memeluk kedua orangtua, serta merasakan suasana Lebaran bersama keluarga tercinta.
Hati Kesakitan Seperti Didasari Sembilu
Pak Ketua, apakah pulang kampung tidak dilakukan tahun ini?
Ungkapan singkat dari Pak Helmi Yahya, Wakil Sekretaris Koperasi Tunas Mekar Sari Jaya (TMSJ), bagai gunting tajam yang memotong dengan lembut. Seketika, semuanya tampak membeku. Pikiranku meluncur jauh ke masa lalu, menuju desa kecil tempat aku dilahirkan, dalam dekap hangat kakek dan nenekku, serta bimbingan paman-pamanku yang telaten.
Tapi sekarang?
Mereka telah meninggalkan tempat ini. Hanya sisa nama, ingatan tentang mereka, serta pemakaman-pemakaman yang jarang sekali saya kunjungi. Allahumma ighfirlahum warhamhum...
Saya menghembuskan nafas panjang. "Maaf Pak, anggota keluarga saya semuanya sudah ada di sini," kataku sementara menyeka air mata yang tak sadar telah jatuh. Meski suaramu bergetar, kamu mencoba untuk tetap tenang.
Di sela-sela kata-kata tersebut tersembunyi ribuan arti. Ini tak cuma soal enggak pulang kampung, tetapi lebih ke arah bagaimana hidup sudah merombak semuanya. Dahulu, mudik merupakan sebuah tradisi suci, bertahan dari kemacetan, capek-capeknya, untuk mencicipi sepiring ketupat yang dibuat oleh sang ibu serta mendengarkan ceramah panjang si ayah di dalam rumah tangga. Kini? Saya hanya bisa mendoakan agar harapan-harapan saya dapat tersampaikan di dunia barzakh.
Bapak Helmi mungkin tidak menyadarinya, tetapi pertanyaannya bisa saja mengguncangkan hati. Namun demikian, begitulah kehidupan: kadang-kadang, pertanyaan sepele malah dapat membangkitkan lukakan yang belum sepenuhnya pulih.
Saya tertawa pahit. "Pulang kampung? Rumah saya telah ada di sini, Bapak. Tetapi hatiku... tidak tahu masih berada dimana."
Cerita Mudik Si Bungsu
Diberkahi dengan tiga puteri wanita, sang kakak tertua dikenal sebagai Intan. Anak keduanya sering disebut Fina oleh semua orang. Serta adik terkecilnya, yang melengkapi kegembiraan hidup mereka, biasa dijuluki Ayu.
Intan dan Fina sekarang sudah mendirikan rumah tangga. Intan, sang kakak tertua dari kita, lulusan UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka), sedangkan Fina, adiknya yang bungsunya, meraih gelarnya dari Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP). Yang paling muda, Ayu, masih aktif sebagai mahasiswi di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Berikut ini adalah kisah perjalanan pulang ke kampung halamannya sang adik yang paling muda, disusun berdasarkan ceritanya saat tiba di rumah.
Ayu, anak bungsunya keluarga, pada akhirnya mengawali petualangannya pulang kampung dari Solo hingga Palembang. Walaupun dihadapkan dengan berbagai rintangan, perjalanannya penuh dengan saat-saat berkumpul yang sangat berkesan.
Bagi kenyamanan perjalanannya, saya sarankan dia menggunakan kereta api untuk berpindah dari Solo menuju Bandara Y IA Yogya. Saat ini, penggunaan kereta api sudah menjadi pilihan yang sangat nyaman, tak seperti dahulu yang sering kali ramai dan padat, menjadikan petualangan di perjalanan jadi lebih damai serta mengasyikkan.
Ia memulakan petualangannya dari Stasiun Purwosari Solo, meluncur naik kereta ke arah Yogyakarta. Setelah itu, ia meneruskan perjalanannya menggunakan kereta lagi hingga tiba di Kulon Progo, tempat Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) menyambutnya sebagai pintu masuk pulang kampung.
Pesawat tempatnya duduk, yaitu Super Air Jet, take off pada jam 16:35 WIB, mengantarkannya melewati langit ke arah Palembang. Berdasarkan keterangan Ayu, ia merasa sedikit khawatir ketika pesawat mengalami turbulensi sebanyak dua kali, tetapi dengan doa-doanya, akhirnya pesawat berhasil mendarat selamat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II pada pukul 17:55 WIB. Kakak-kakak tersayangnya, Intan dan Fina, sudah tidak sabar serta gembira menanti kedatangan si bontot, sehingga mereka hanya dapat bersenda-sapa lagi setelah pukul 18:14.
Meskipun demikian, petualangan mereka belum berakhir. Mereka tetap harus melanjutkan perjalanan ke Air Kumbang, yang terletak di wilayah Banyuasin, dari bandara. Keadaan malam yang suram ditambah lagi dengan laporan-laporan tidak menyenangkan tentang seringnya kasus pemerasan di desa NusaKembur memperburuk atmosfer menjadi lebih tegang. Namun, Fina, yang menjalankan kendali mobil, meremas setir Pajero Dakar milik neneknya dengan keyakinan kuat. Dia berkata tegas, “Jika ada orang menghalangi kita, aku akan langsung menabrakkannya!” Sementara itu dia melepas kopling untuk menghindari ancaman tersebut.
Walaupun jalannya dari Kecamatan Banyuasin I menuju Air Kumbang berlubang dan kurang mulus, ketahanan kendaraan serta keterampilan Dinda dalam mengendarai membuat perjalanan menjadi lebih mudah. Pada akhirnya, pada pukul 21.00 WIB, kedua putri remaja tersebut sampai di tujuan dengan aman.
Sebagai seorang ayah dan ibu, perasaanku dipenuhi rasa gembira yang mendalam beserta ucapan syukur. Aku tidak dapat menahan air mata bahagiaku ketika menyaksikan putra-putriku bertemu kembali. "Syukurlah, mereka telah tiba dengan selamat. Mudah-mudahan kita semua bisa merayakan Idulfitri bersama-sama dalam suasana sukacita," gumamku sembari sujud untuk mengucapkan rasa syukur.
Riwayat perjalanan yang sarat dengan rintangan tersebut pada akhirnya membuahkan hasil yang manis, yaitu kepulangannya si putri bungsu kepada keluarganya dan menciptakan sebuah narasi pulang kampung yang tidak akan dilupakan.
Penutup
Sekarang, mudik merupakan suatu tantangan berani. Bukan hanya soal kembali ke desa asal, tetapi juga pertempuran melewati banyak rintangan yang dihadapi dengan semua keterbatasan tersebut. Pada masa ketika tiket pesawat masih seperti impian, bahkan menumpangi bis ber-AC saja sering kali tidak dapat dibeli dengan uang saku atau tabungan.
Pada tahun 1988, rute perjalanan dari Bandung menuju Palembang seolah merupakan petualangan melintasi lautan zaman, memakan waktu selama dua hari untuk berhadapan dengan hawa dingin jendela bis yang rusak, debu jalan yang melekat pada kulit, dan aroma keringat yang menusuk hidung.
Sampai di rumahpun tidak datang sebagai pahlawanyg gagah, tetapi seorang juara yg lelah, baju kotor, tubuh pegal namun matanya bersinar dengan kebahagiaan.
Di sisi lain, para lansia itu menunggu dengan cemas, jantung berdebar tidak karuan, karena segala bentuk komunikasi hanya terbatas pada doa serta surat-surat yang tak sempat tiba sebelum kepunahan tersebut.
Sekarang ini, pulang kampung telah mengalami perubahan menjadi suatu narasi yang baru. Perjalanannya yang dulunya membutuhkan beberapa hari saat ini dapat diselesaikan hanya dalam hitungan jam saja. Berangkat setelah sholat Dzuhur, tiba di bandara sebelum waktu Maghrib, dan bahkan belum masuk tengah malam pun Anda sudah bisa merengkuh orangtua di kediaman mereka.
Tiada lagi aroma keringat atau pakaian yang kotor oleh debu, sebab pendingin udara telah jadi sahabat tetap bagi bis hingga pesawat. Keringat tidak mau muncul, ragu-ragu untuk menganggu kedamaian perjalanan. Malahan kesalangan belum sempat merayapi, dikarenakan gadget dalam genggaman membuat kita selalu tersambung, berbagi keceriaan melalui panggilan video, memberitahu lokasi, ataupun hanya cukup mendengarkan cerita sang ibu yang sudah ngiler menantikan di dapur.
Hanya kerinduan yang tetap menyala dengan hangat. Perbedaannya sekarang kita dapat mencapainya lebih cepat, tiba dalam kondisi lebih bugar, dan menikmati momen bersama dengan lebih leluasa.
Pernah dulu kita bertarung menghadapi jarak dan waktu, sekarang kita bersaing dengan segala kemewahan zamannya. Akan tetapi, dibalik semuanya ini, mudik tetap identik sebagai momen pulang yang tidak pernah hilangkan rasa hangatnya, walau sudah berganti waktunya.
0 Komentar